Jumat, 03 September 2010

Memaknai "HARI RAYA"

Moh. Nurwahib, SP.

Hari Raya adalah hari dimana terdapat sekumpulan manusia, Al ‘Id berasal dari pecahan kata ‘aada ya ‘uudu artinya “seakan-akan mereka kembali kepadanya”.

Ibnu A’rabi berkata,”Dikatakan al-‘Id itu, ‘Id (hari raya) karena kegiatan itu berulang setiap tahunnya dengan kegembiraan yang baru.” (Lisanul ‘Arab 3/319)

Terdapat dua kata kunci dalam memakna “kembali” dan “gembira” dua kata kunci tersebut akan diulang untuk setiap tahun diberikan oleh Alloh setelah keita melaksanakan puasa selama satu bulan.

Dua kata kunci “kembali dan gembira” akan bermakna serangkai dengan kata sebelumnya yaitu “puasa” karena tidak ada hari raya idul fitri tanpa puasa.

Berbagai perumpamaan untuk dapat memaknai Hari Raya :

Seorang siswa bisa memaknainya seolah selesai Ujian, Santri dapat memaknainya sebagai khotam sebuah kitab kajiannya.

1. Kata kunci pertama “kembali”

Kembalinya seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.

Menurut syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa Idul Fithri itu ialah Hari raya kita kembali berbuka puasa

Artinya: Dari Abi Hurairah (ia berkata): Bahwasannya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Shaum / puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (idul) fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (idul) adhha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan.” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh imam-imam: Tirmidzi (No: 693), Abu Dawud (No: 2324), Ibnu Majah (No: 1660), ad Daruquthni (2/163-164) dan Baihaqi (4/252) dengan beberapa jalan dari Abi Hurairah. Dan lafazh ini dari riwayat Imam Tirmidzi.)

2. Kata kunci ke dua “gembia”

Kegembiraan itu lahir dari keberhasilan seseorang atas kemenangan setelah umat Islam “menaklukkan” hawa nafsunya selama bulan puasa. Kegembiraan didapatkan bagi mereka yang telah diampuni dosanya. Kegembiraan atas kesenangan didapatkan bagi mereka yang dapat berkumpul dan bersilaturahmi dengan sesama keluarganya. Dan lebih-lebih karena Idul Fitri mendorong sikap untuk saling memaafkan.

Hari raya menjadi pintu transisi yang sangat menentukan kesuksesan kita mencarge baterai keimanan selama satu bulan. Sebagian manusia tahan dalam keimanan ketika diterpa ujian kesedihan ketidak berdayaan tetapi tidak banyak orang mampu bertahan dalam gelimang kegembiraan.

Ketika seseorang memaknai hari raya seperti narapidana yang keluar dari penjara, maka tidak akan ketemu kecuali mereka para residivis. Ketika seseorang memaknainya layaknya lulusan sekolah sepatunya ia meningkatkan kwalitas keimanaanya laksana peningkatan jenjang pendidikan berikutnya.

Hari raya diumpamakan kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya dengan kondisi lemah waktu itulah yang menentukan perjalanan berikutnya. Ketika seekor kupu-kupu gagal melewati transisi maka ia akan menjadi santapan semut.

Banyak orang mampu menahan syahwat dan lapar tetapi ketika saat berbuka tidak sedikit diantara mereka yang berlebihan. Banyak orang yang mau meminta maaf tetapi tidak banyak orang yang mampu mengakui kesalahan sebagaimana yang diatur dalam Islam bukan pengakuan glondongan dan menerima permintaan maaf secara ikhlas, bukan sekedar seremonial musyafahah.

Ketika inti hari raya adalah “minal a’idin wal fa’izin” mohon ma’af lahir batin maka tidak sepantasnya kita hanya memohon ma’af tetapi juga ikhlas mema’afkan – orang yang telah menganiaya.

Pada akhirnya pertanyaan, “dapatkah romadhon membawa kita pada kesederhanaan, jika yang terpikir hanya hidangan berbuka dan kemilau pakaian hari raya ?”. serta “mampukah baterai keimanan yang kita carge selama satu bulan akan bertahan hingga romadhon berikutnya ?”.

Kita hanya mampu berdo’a semoga Alloh senantiasa memberikan kesempatan kita “kembali” menemukan “kegembiraan” dan menjadikan kita golongan orang yang “gembira” ketika “kembali” bertemu Alloh SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar