Moh. Nurwahib
“Tundukkan
penglihatanmu, lihatlah bumi nan hijau disini sumber isi perut kita, wahai
anaku”. Bumi tempat kita berpijak
membutuhkan uluran karya kita, untuk mengubah lumpur menjadi tembikar, untuk
mengantar kotoran menjadi daun hijau sumber oksigen untuk kita menghela nafas,
sumber tumbuhnya buah nan ranum dan bunga yang merona.
Bukankan
matahari menyinari kita ? benar namun sang surya tidak butuh uluran tanganmu,
sehingga tak perlu kau sering menengadahkan wajah, karna nanti akan terbakar
pipimu yang ranum.
Bumi
tempat kita berpijak, tempat ternak kita mengais nafkah, serta pemohonan tumbuh
dan berbuah.
Sering
kita lupa bahwa bahagia itu ada di rasa, dihati yang ikhlas menerima qodho dan
qodar, tabah dan bersyukur mengiringinya. Bahagia takkan pernah lahir tatkala
kita bersimpuh pada petinggi negeri menjilat bak anjing piaraan, bahagia tak
juga lahir dari rahim yang tamak, bahagia tak juga pernah hidup dalam hati yang
senantiasa iri dan dengki.
Ketika
hati kita tulus menerima bercengkerama dengan mahluk yang membutuhkan aroma
tubuh kita, mereka yang membutuhkan uluran tangan kita, niscaya embun pagi yang
sejuk akan merembes pada qalbu yang terbuka lebar.
Sering
kita mendefinisikan bahagia sebagai perwujudan dari penggapaian atas bintang
gumintang, atau memeluk matahari, seolah segalanya dapat terbeli, namun akankah
rasa itu hadir tatkalan benar-benar bintang itu jatuh menimpamu dari langit.
Bahagia
dan rasa syukur adalah sejoli yang tak terpisahkan laksana ikan dengan air,
yang senantiasa terbingkai pada wadah tabah tankala Alloh menggelitik dengan
ujiannya, seseorang belum dikatakan beriman sebelum mendapatkan ujian. Ujian tidak
harus malapetaka, bunga semerbak harum pun mampu melupakan.
Bumi
tempat berpijak tak seharusnya dikangkangi, tak selayaknya diperbudak,
selayaknya kita santuni dengan cinta dan perbuatan.
Tidakkah
kita sering mencium kotoran diujung jempol kaki, itulah diri raga kita yang
membawa kita untuk sering menunduk.
Biarkan
embun pagi menetes pada raga kita dengan hati kita yang mampu menikmatinya,
Alloh menebar kebahagiaan laksana Alloh menebar rejeki pada setiap mahluk
dengan keanekaragamannya berdasarkan kebutuhan dan titahnya. Termasuk pada
cicak yang tiada bersayap, diberinya rizki berupa nyamuk yang kita sendiri
sulit menangkapnya. Hanya karna silaunya sang surya kita sering memilih
fatamorgana.
Semoga
Alloh senantiasa menempatkan kita pada golongan yang pandai bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar