Senin, 12 Desember 2011

Sketsa Yang Terlupa


Moh. Nurwahib

“Tundukkan penglihatanmu, lihatlah bumi nan hijau disini sumber isi perut kita, wahai anaku”.  Bumi tempat kita berpijak membutuhkan uluran karya kita, untuk mengubah lumpur menjadi tembikar, untuk mengantar kotoran menjadi daun hijau sumber oksigen untuk kita menghela nafas, sumber tumbuhnya buah nan ranum dan bunga yang merona.
Bukankan matahari menyinari kita ? benar namun sang surya tidak butuh uluran tanganmu, sehingga tak perlu kau sering menengadahkan wajah, karna nanti akan terbakar pipimu yang ranum.
Bumi tempat kita berpijak, tempat ternak kita mengais nafkah, serta pemohonan tumbuh dan berbuah.
Sering kita lupa bahwa bahagia itu ada di rasa, dihati yang ikhlas menerima qodho dan qodar, tabah dan bersyukur mengiringinya. Bahagia takkan pernah lahir tatkala kita bersimpuh pada petinggi negeri menjilat bak anjing piaraan, bahagia tak juga lahir dari rahim yang tamak, bahagia tak juga pernah hidup dalam hati yang senantiasa iri dan dengki.
Ketika hati kita tulus menerima bercengkerama dengan mahluk yang membutuhkan aroma tubuh kita, mereka yang membutuhkan uluran tangan kita, niscaya embun pagi yang sejuk akan merembes pada qalbu yang terbuka lebar.
Sering kita mendefinisikan bahagia sebagai perwujudan dari penggapaian atas bintang gumintang, atau memeluk matahari, seolah segalanya dapat terbeli, namun akankah rasa itu hadir tatkalan benar-benar bintang itu jatuh menimpamu dari langit.
Bahagia dan rasa syukur adalah sejoli yang tak terpisahkan laksana ikan dengan air, yang senantiasa terbingkai pada wadah tabah tankala Alloh menggelitik dengan ujiannya, seseorang belum dikatakan beriman sebelum mendapatkan ujian. Ujian tidak harus malapetaka, bunga semerbak harum pun mampu melupakan.
Bumi tempat berpijak tak seharusnya dikangkangi, tak selayaknya diperbudak, selayaknya kita santuni dengan cinta dan perbuatan.
Tidakkah kita sering mencium kotoran diujung jempol kaki, itulah diri raga kita yang membawa kita untuk sering menunduk.
Biarkan embun pagi menetes pada raga kita dengan hati kita yang mampu menikmatinya, Alloh menebar kebahagiaan laksana Alloh menebar rejeki pada setiap mahluk dengan keanekaragamannya berdasarkan kebutuhan dan titahnya. Termasuk pada cicak yang tiada bersayap, diberinya rizki berupa nyamuk yang kita sendiri sulit menangkapnya. Hanya karna silaunya sang surya kita sering memilih fatamorgana.
Semoga Alloh senantiasa menempatkan kita pada golongan yang pandai bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar