Selasa, 31 Agustus 2010

"Witing tresno jalaran soko kulino"

Oleh : Moh. Nurwahib, SP.

Membentuk pribadi anak agar memiliki integritas, pribadi yang berwatak secara naluriyah menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan. Perlukah diajarkan budi pekerti luhur di Sekolah ?

Jawaban terserah pembaca, namun penulis akan mengurai maqolah sederhana yang berakar dari budaya Indonesia “Witing trisno jalaran soko kulino” (cinta tumbuh dari kebiasaan).

Konsep baru yang ditawarkan Mendiknas Muhammad Nuh dalam sambutannya pada peringatan Hardiknas tahun 2010 ini “Membangun karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya”.

Kata “Etis dan sopan” menjadi sebuah kata yang indah untuk diucapkan namun kata tersebut oleh sebagian orang sering multi tafsir, dengan alasan perbedaan budaya yang sungguh multi di Indonesia. Walau pada dasarnya sebelum Negara Republik Indonesia lahir kita telah bersumpah satu budaya, budaya Indonesia.

Inilah tragedi zaman kebinekaan yang tidak tunggal ikha. Pada sebagian orang yang berlimpah material, anak-anak diajarkan Ahlaqul Baniin (budi pekerti) keutamaan hidup menghormati orang lain dan hemat. Namun dirumah dibiarkan hidup dengan pembantu bagai centeng, jajan yang berlebih dan membuangnya semaunya.

Sementara sebagian yang lain karena “alasan” pertumbuhan ekonomi, anak menjadi korban “pahlawan devisa” terlantar karenanya.

Hegemoni kapitalisme memang tak bersahabat dengan keutamaan etis dan sopan, pola hidup sederhana sudah ketinggalan jaman. Pola pakaian jauh dari etika ketimuran muncullah budaya celana “SMS” ketika tattoo yang jelas dilarang agama menjadi gambar eklan idola, semua menjadi pemeluk kapitalyang demi alasan pertumbuhan ekonomi.

Para pelayan dan satpam di pusat perbelanjaan dan rumah makan mewah pun ikut “stagnan” jika orang kaya tak lagi belanja.

Kiranya gagasan Pak Mentri perlu diimpementasikan tidak hanya di Sekolah melainkan pada seluruh bidang kehidupan, namun pada dasarnya “Pembiasaan” menjadi sebuah kata terjemahan dari budaya “Witing tresno jalaran soko kulino” menjadi salah satu simpul yang perlu diurai untuk mencegah tragedy gagal moral.

Pembiasaan dilakukan dengan menuntun anak sehingga kebahagiaan akan muncul ketika perbuatan baik dapat dilaksanakan. Perilaku baik tidak hanya dari tontonan TV saja.

Anak perlu dibiasakan merasakan perbedaan nikmat dan bahagia, anak perlu dibiasakan merasakan nikmat dari perbuatan luhur bukan nikmat dari perbuatan yang keji seperti adu jago dan mengurung binatang piaraan.

Bahagia baru dirasakan belakangan yang merupakan hasil dari perbuatan baik. Bahagia tidak dapat diburu tetapi bahagia dapat dirasakan oleh seluruh kalangan tanpa kasta pemisah miskin atau kaya.

Bulan Romadhon ini seharusnya menjadi sarana pembiasaan berbuat baik, kewajiban berpuasa untuk melatih kesabaran, kesabaran dari perut dan kemaluan untuk melayani syahwat, kesabaran dari panca indera untuk melayani pendengaran, penglihatan, perbuatan yang beraroma dosa, serta kesabaran otak pikiran unuk berpikir dan berencana yang buruk.

Romadhon bukan sajian lezat hidangan di meja makan, serta gemerlap pakaian yang selalu dipikirkan melainkan hidayah dan ridho Alloh yang selalu didambakan.

Pendidikan pembiasaan Romadhon sebagai salah satu momen yang selayaknya kita manfaatkan sebaik mungkin dalam rangka pembiasaan, yang indikatornya tentang kesabaran dan kejujuran dapat dilihat setelah lebaran.

Pembiasaan juga diajarkan pada kewajiban Sholat yang telah ditetapkan waktunya agar terbiasa hidup berdisiplin dan menghargai waktu.

Pendidikan berjalan terus menjalar mengikuti waktu yang tiada dapat kembali apalagi garansi. Keberhasilan pendidikan selayaknya dapat dilihat setiap saat berlalu tidak perlu menunggu nilai raport koknitif yang dimungkinkan rekayasa.

Para pembaca yang budiman kiranya tulisan sepenggal ini masih perlu dirangkai lagi dengan pendapat pembaca untuk menjawab pertanyaan “ Perlukah budi pekerti luhur diajarkan di Sekolah ?”.